Selamat Datang

Selamat Datang...
Sugeng Rawuh,,,
Ahlan Wasahlan...
Awali dengan bacaan Basmalah...

Senin, 14 Februari 2011

Gempa dan Patahan


Gempa dan patahan Watukosek

Quantcast
Munculnya rel KA porong yang bengkok banyak yang menginterpretasikan sebagai akibat subsidence, ada juga yang memperkirakan sebagai akibat goyangan Watukosek. Namun ada kemungkinan juga hanyalah pemuaian yang dibarengi amblesan.
:( “Lah iya ta Pakdhe, wong rel besi gitu kok ya bisa menari meliuk-liuk. Kali aja yang nyetel ndangdut trus penumpang kreta apinya goyang-goyang”
Manzini memperkirakan akibat reaktivasi sesar Watukosek. Nah, apa itu benera ya ? Marufin yang suka ngitung-ngitung ini mengukur seandainya bener itu goyangan “gempa watukosek”
Pembengkokan rel KA di dekat kawah semburan Lumpur. Mazzini dkk (2007) menyebut pembengkokan ini sebagai tanda reaktivasi patahan Watukosek yang disebabkan oleh Gempa Yogya 27 Mei 2006. Namun pembengkokan ini sendiri sebenarnya baru terjadi pada akhir September 2006, empat bulan setelah lumpur menyembur, dan diidentifikasikan akibat subsidence, bukan reaktivasi patahan. Jika pembengkokan ini terjadi akibat reaktivasi patahan, maka itu akan menghasilkan gempa 6,2 Mw yang membuat Porong dan sekitarnya porak – poranda (Sumber gambar : Mazzini dkk, 2007, dengan penambahan seperlunya).
Perspektif dari selatan

Relasi gempa Yogya dan Semburan Lumpur Lapindo

Oleh: Marufin
Mazzini dkk (termasuk didalamnya pak Bambang Istadi, eksekutif Lapindo Brantas) menyebut Gempa Yogya 27 Mei 2006 adalah pemicu erupsi lumpur yang meletup pada kebun pisang dan semak belukar sejauh 150 m dari sumur eksplorasi Banjar Panji 1. Dihipotesakan gempa tersebut memicu reaktivasi patahan Watukosek (ada pula yang menyebutnya sesar Gresik), yakni patahan yang berarah Timur Laut – Barat Daya yang berasal dari kompleks vulkanik Arjuno melintasi Gunung Penanggungan, Porong dan berujung di Selat Madura. Reaktivasi menyebabkan patahan bergerak, menimbulkan retakan memanjang di dekat sumur Banjar Panji 1, menimbulkan partial loss lumpur pemboran sumur Banjar Panji 1 (dimana 320 liter lumpur pemboran menghilang) dan perubahan volume produksi sumur Carat didekatnya. Disebutkan Gempa Yogya menghasilkan gucangan berintensitas 2 – 3 MMI di Surabaya (guncangan ini setara jika kita berdiri di tepi jalan dan ada truk besar sedang melintas). Sementara di bagian utara kompleks vulkanik Arjuno-Welirang (termasuk kawasan Porong), guncangannya mencapai 4 MMI.
Masalah reaktivasi patahan Watukosek ini menjadi hal yang menarik ketika Mazzini dkk menampilkan gambar rel KA yang membengkok di Porong, yang disebut sebagai bukti bergeraknya kembali patahan itu. Secara kasar pembengkokan itu mencapai 50 % dari lebar bentangan (gauge) rel, dan dengan gauge rel Indonesia yang 106,7 cm maka bisa dikatakan pergeseran itu mencapai 50 % x 106,7 cm = 53,35 cm atau kita bulatkan saja menjadi 54 cm.
Panjang pergeseran sebuah patahan dalam kejadian gempa bumi itu sebanding dengan luas patahannya, sebagaimana diformulasikan secara rata-rata oleh Geller dan Kanamori (Kanamori, 1977) dalam bentuk :
Mo =1,23 . 1022 A1,5 (1)
dengan Mo = momen seismik (dyne cm) dan A = luas patahan (km2).
Kanamori sendiri menyebut momen seismik gempa sebanding dengan luas patahannya dalam formula :
Mo = mAd                                 (2)
dengan Mo = momen seismik (dyne cm), m = rigiditas batuan (diambil nilai rata-ratanya sebesar  3 . 1011 dyne/cm2), d = pergeseran patahan (cm) dan A = luas patahan (cm2). Hubungan antara momen seismik gempa dengan magnitudenya (dalam hal ini magnitude momen) dinyatakan dalam bentuk :
Mw = 2/3 (log Mo – 16,1)                     (3)
Jika persamaan (1) dan (2) digabungkan, setelah terlebih dulu menyesuaikan satuan A pada kedua persamaan, maka kita mendapatkan hubungan pergeseran rata-rata patahan dengan luas rata-ratanya sebagai :
d = 4,1 A½
dengan A dalam km2.
Dengan menganggap panjang pergeseran akibat reaktivasi patahan Watukosek sebesar 54 cm seperti direpresentasikan pembengkokan rel KA di atas, maka luas patahan yang tereaktivasi sebesar 173 km2. Lewat persamaan (1), luas patahan ini setara dengan gempa bermagnitude 6,2 Mw. Dan dengan menggunakan relasi magnitude gempa dengan intensitas guncangannya yang dinyatakan oleh Beno Gutenberg – C.F. Richter sebagai :
Io = 1,5 M – 0,75                                 (4)
Maka reaktivasi patahan dengan M = 6,2 Mw itu akan menghasilkan guncangan berintensitas 8 – 9 MMI pada luasan patahan yang bergeser.
Dari hasil perhitungan, skenario reaktivasi patahan sangat sulit untuk diterima, karena : pertama, intensitas guncangan di bagian utara kompleks vulkanik Arjuno-Welirang hanyalah 4 MMI sebagaimana data USGS untuk Gempa Yogya 27 Mei 2006. Kedua, jika reaktivasi patahan Watukosek menghasilkan guncangan 8 – 9 MMI (setara dengan guncangan di Imogiri dalam Gempa Yogya) pada luasan patahan, maka bisa dipastikan akan muncul kerusakan hebat berskala luas pada bangunan-bangunan di Porong hingga ke Surabaya (dan Malang) karena intensitas guncangan di Surabaya bisa mencapai 6 – 7 MMI, sementara kita tahu nyaris tidak ada kerusakan akibat guncangan gempa di wilayah itu karena intensitasnya hanya 2 – 3 MMI berdasar data USGS. Dan yang ketiga, sulit diterima bahwa Gempa Yogya yang magnitudenya 6,3 Mw mampu memicu gempa dengan magnitude hampir sama (yakni 6,2 Mw) pada segmen patahan yang terpisah sejauh 280 km dari patahan sumber Gempa Yogya. Yang sering terjadi adalah patahan yang tereaktivasi itu persis berada di sebelah patahan sumber gempanya, seperti terjadi pada gempa megathrust Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 dimana patahnya segmen Simeulue memicu reaktivasi segmen Andaman diutaranya yang telah 500 tahun ‘tertidur’ (meski sebagian kecil diantaranya sempat ‘bangun’ pada Gempa Andaman 1941)  sehingga total luasan patahannya mencapai 1.600 x 80 km2 dengan total magnitude menjadi 9,2 Mw dan pergeseran rata-rata 20 m.
Bila “digali” dari arsip media, pembengkokan rel KA di Porong ternyata baru terjadi pada akhir September 2006 atau empat bulan pasca lumpur menyembur, jadi jelas tidak merepresentasikan sifat patahan Watukosek pada akhir Mei 2006. Pemodelan Davies dkk (2008) menunjukkan stress yang ditimbulkan Gempa Yogya pada Bumi Porong dan sekitarnya hanyalah 200 Pa. Ini lebih kecil dibanding stress akibat pasang surut air laut (1 kPa) dan jauh dari nilai kritis stress 10 kPa untuk memicu gempa ataupun letusan gunung berapi (Stein, 1999 dalam Walter dkk, 2007). Catatan Manga (2007) dan Davies dkk (2008) menunjukkan dalam sejarahnya pada 1976 dan 1998 pernah terjadi gempa dengan magnitude > 6,3 Mw dan dengan jarak episentral < 280 km terhadap Porong. Keduanya menghasilkan intensitas guncangan > 4 MMI di Porong, namun ternyata tidak menghasilkan reaktivasi patahan ataupun semburan lumpur.
Bagaimana dengan meningkatnya aktivitas Semeru pasca Gempa Yogya? Seberapa besar pengaruh gempa terhadap letusan gunung berapi bisa dilihat dari persamaan Manga dan Brodsky (2006) berikut :
X = (DPeqTv)/(DPcTeq)
dengan X = fraksi letusan yang dipicu oleh gempa pada sebuah gunung, DPeq = static dan dynamic stress akibat gempa, Tv = waktu perulangan letusan untuk skala VEI tertentu, DPc = overpressure yang dibutuhkan untuk membuat saluran (dike) dari kantung magma ke permukaan dan membuat magma mengalir ke atas tanpa membeku di tengah perjalanan dan Teq = waktu perulangan gempa.
Untuk Semeru dengan magma yang asam (mengandung banyak silikat), DPc bernilai 10 MPa. Letusan Semeru untuk VEI 1 – 2 rata-rata terjadi tiap 1 tahun sekali. Waktu perulangan gempa kuat di Yogyakarta dan sekitarnya rata-rata 70 tahun (berdasar data 1867 – 2006), sementara DPeq di Porong dan sekitarnya akibat Gempa Yogya 27 Mei 2006 sebesar 200 Pa berdasarkan pemodelan Davies dkk. Maka fraksi letusan Semeru yang dipicu oleh Gempa Yogya hanyalah 1 banding 3,5 juta. Jika merujuk pada umur Semeru yang tergolong muda (< 0,5 juta tahun) dan dianggap setiap tahun selalu meletus dalam skala VEI 1, maka sulit untuk mengaitkan letusan akhir Mei 2006 itu dengan Gempa Yogya mengingat probabilitasnya sangat kecil. Ini diperkuat dengan stress produk Gempa Yogya di Semeru yang besarnya juga sekitar 200 Pa, jauh dari nilai kritis 10 kPa. Sangat berbeda dengan stress di Gunung Merapi yang mencapai 60 kPa sehingga jelas terdapat hubungan kuat antara Gempa Yogya dengan peningkatan aktivitas Merapi pasca gempa, dari yang semula hanya 16 kali luncuran awan panas/hari meningkat pesat menjadi 95 kali luncuran awan panas/hari di hari-hari pasca gempa.
Atas dasar itulah Davies dkk (termasuk salah satu penulisnya pak Rudi Rubiandini) menyimpulkan sangat sulit mengaitkan Gempa Yogya dengan semburan Lumpur Lapindo di Porong, baik sebagai pemicu tunggal ataupun berkombinasi dengan kecelakaan pemboran. Semburan lumpur itu lebih disebabkan oleh penyebab tunggal : kecelakaan pemboran, dalam hal ini akibat tidak dipasangnya casing sejak kedalaman 1.091 meter hingga 2.834 meter. Davies dkk menunjukkan, pada 28 Mei 2006 pukul 05:00 – 08:00 WIB sumur Banjar Panji-1 mengalami kick, yakni masuknya air formasi dan gas ke dalam sumur, sehingga 50 % lumpur pemboran mengalir keluar. Volume kick diestimasikan sebesar 62.000 – 95.000 liter dan menyebabkan peningkatan tekanan casing secara spektakuler dari 1,72 MPa menjadi 7,27 MPa dalam 25 menit. Guna mengatasi kick ini dipompakan 3.021 liter lumpur dengan berat jenis 0,0181 MPa/m (14,7 ppg). Kick memang berhenti, namun akibatnya terjadi sesuatu yang lebih serius pada bagian sumur yang tidak ditutupi casing. Davies dkk menunjukkan pada kedalaman 1.091 meter saja (yakni bagian teratas yang tidak tertutupi casing), tekanan dalam lubang sumur mencapai 0,0181 x 1091 + 7,27 = 27,02 MPa, sementara batas kekuatan batuan pada kedalaman tersebut hanyalah 21,03 MPa. Jelas bahwa tekanan dalam sumur melebihi kekuatan batuan sehingga terjadilah pecah formasi batuan pada kedalaman > 1.091 meter dan terbentuk retakan-retakan radial. Akibatnya air formasi dan gas (dan kemudian lumpur) yang semula masuk ke dalam sumur lebih memilih jalan yang mudah yakni lewat retakan radial tersebut dan bergerak ke atas hingga akhirnya keluar sebagai semburan lumpur.
Dan akhirnya, ada kalimat menarik dari Second from Disaster-nya National Geographic : bencana tidaklah datang secara tiba-tiba, namun bencana merupakan rangkaian dari peristiwa penting pada waktu yang genting. Bencana semburan lumpur Lapindo jelas tidak datang sekonyong-konyong, namun berkait erat dengan peristiwa-peristiwa penting di tempat itu, dalam hal ini kecelakaan pemboran pada sumur Banjar Panji-1.
Ref :
Davies et.al, 2008, The East Java Mud Volcano (2006 to Present) : An Earthquake or Driling Trigger? Earth & Planetary Science Letters (2008), in press.
Kanamori, 1977, The Energy Release in Great Earthquakes, Journal of Geophysical Research 82 (1977) No. 20, p. 2981 – 2987.
Manga & Brodsky, 2006, Seismic Triggering of Eruptions in The Far Field : Volcanoes and Geysers, Annual Review of Earth & Planetary Science 34 (2006),p.263 – 291.
Manga, 2007, Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of The Lusi Mud Volcano? EOS 88 (2007), p. 201.
Mazzini et.al, 2007, Triggering and Dynamic Evolution of Lusi Mud Volcano Indonesia, Earth & Planetary Science Letters 261 (2007), p. 375 – 388.
Walter et.al, 2007, Volcanic Activity Influenced by Tectonic Earthquakes : Static and Dynamic Stress Triggering at Mt. Merapi, Geophysical Research Letters 34 (2007). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar